Dodol Nyak Mai, Tetap Eksis Berkat Resep Turun Temurun

Dodol merupakan panganan berbahan baku santan kelapa, tepung ketan, gula pasir, gula merah, dan garam yang prosesnya membutuhkan keahlian khusus dengan waktu cukup lama demi kualitas terbaik. Dodol merupakan salah satu makanan unik yang sering dijumpai di belahan bumi Nusantara. Banyaknya penggila panganan yang memiliki rasa manis legit ini menjadi penyebabnya. Bahkan di daerah-daerah tertentu, dodol sering dijadikan suguhan untuk acara-acara besar semisal perkawinan, syukuran, pengajian, hingga acara adat lainnya, dsb.

Berbicara tentang dodol, maka terlintas nama Garut di kepala. Kota Garut memang salah satu daerah yang konsen dengan panganan yang biasanya dijual dengan potongan kecil yang dibungkus dengan kertas minyak atau plastik ini. Bahkan dapat juga dikatakan, dodol lebih dikenal sebagai panganan khas dari Kota Garut. Meski pada kenyataannya, banyak juga dijumpai panganan dodol yang memiliki citarasa berbeda di tiap-tiap daerah produksi asalnya. Seperti dodol kandangan asal Kandangan, Kalimantan Selatan, mapun di Jawa Tengan dan Jawa Timur yang dikenal dengan sebutan jenang. Tak heran jika panganan ini juga ditemukan di Jakarta yang lebih dikenal sebagai dodol betawi.

Tak hanya kerak telor, kembang goyang, akar kelapa, klepon, kue ape, dodol betawi juga merupakan salah satu  panganan tradisional asli Betawi. Panganan kesukaan masyarakat ibu kota ini sering kali dijumpai di tempat ramai yang ada di Jakarta. Salah satunya di kawasan wisata Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Terkenal setelah diikukuhkannya sebagai kawasan Perkampungan Budaya Betawi, di Setu Babakan juga terdapat rumah produksi dodol betawi yang namanya telah tersohor seantero Jakarta. Siapa dia? Yak, “Dodol Nyak Mai”.

Terkenal sejak puluhan tahun lalu, usaha ini digagas oleh Nyak Mai yang konon sering disebut sebagai seorang wanita pembuat dodol pertama di Setu Babakan. Hingga seorang yang digambarkan menggunakan kerudung dan kacamata ini tutup usia pada tahun 2007 silam.  Kini usaha dodol ini sudah diwariskan ke generasi kedua, yakni Ny. Juwani, anak kelima dari Nyak Mai yang meneruskan kiprah ibunya menjual panganan legit ini pada masyarakat umum.

Tak lagi dijalankan oleh sang penggagas, Juwani selaku penerus, tetap mempertahankan rasa dan kualitas dari Dodol Nyak Mai. Selain memang rasanya yang legit, Dodol Nyak Mai dibuat tanpa bahan pengawet dan berbeda pada dodol pada umumnya. Hal itu diakuinya berkat resep rahasia turun temurun dari keluarganya. Tanpa adanya bahan pengawet, dodol buatan Juwani ini hanya mampu bertahan selama satu bulan tanpa suhu kulkas. “Kalau dimasukin kulkas bisa sampai 3 bulan. Ditanggung enggak ‘bulukan’. Saya jamin,” ujarnya.

“Nenek saya juga ahli buat dodol, nurun ke enyak, terus ke saya dan kakak saya. Jadilah sekarang meneruskan usaha enyak. Ada resep khusus yang diturunkan, khususnya soal takaran, hanya saya dan kakak saya yang tahu,” tambahnya saat ditanya resep rahasia yang membuat dodolnya menjadi unggulan.

Juwani secara singkat menjelaskan dibutuhkan waktu lama dalam proses pembuatan dodol dengan kualitas terbaik. Hal tersebut yang membuatnya hanya produksi dua hari sekali. Berlokasi di Jalan M Kahfi II Gang Kramat Bambu, Setu Babakan, hasil produksi dodol buatan Juwani biasanya dititipkan ke warung di sekitaran Setu Babakan. Meski diakuinya, lebih banyak pengunjung yang datang langsung ke rumah demi mendapatkan produk yang masih fresh.

“Prosesnya kurang lebih 7 jam, Kalau porsi pembuatan lebih besar, pengadukan bisa 10-12 jam. Mulai dari memasukan semua bahan kemudian mencampurkannya dengan rata dan mengaduknya sampai matang,” paparnya.

“Itu capek lo, makanya enggak tiap hari. Tapi, kalau orang datang, stok dodol pasti ada. Kadang juga ada orang yang telepon, pesan dulu baru diambil,” tambahnya.

Ditemani oleh lima orang karyawannya, Juwani mampu memproduksi 40 Kg setiap harinya. Jumlah tersebut meningkat saat libur panjang atau saat lebaran tiba, produksi dapat mecapai  700 kg dodol perharinya. Bahkan Juwani bercerita sampai harus menolak karena kewalahan dalam memenuhi pesanan.Yang beli banyak dari luar Jakarta juga. Pas lebaran kemarin, telepon enggak berhenti, bunyi terus. Pesanannya sampe ditolak-tolak karena enggak sanggup buat,” ungkapnya.

Dodol yang dijual Juwani ditawarkan dengan harga bervariasi. Mulai dari harga Rp 10 ribu sampai Rp 40 ribu tiap satu kemasannya. Kemasannya pun dibuat berbagai bentuk seperti lonjong dan kotak. Diakui juga oleh Juwani kemasan Rp 10 ribu merupakan produknya yang paling laris diburu penggilanya. Soal omzet, dengan harga jual seperti itu, dalam satu kali produksi Juwani mampu bisa mencapai Rp.1.600.000 dalam satu kali produksi.

“Paling laris yang kemasan Rp 10,000. Ini jadi bisnis yang sangat membantu perekonomian keluarga. Sudah ada 3 cabang di Jakarta, alhamdulillah sampai sekarang masih banyak yang suka. Produksi terus nambah apalagi saat jelang lebaran,” tutup Ibu 4 anak ini.

——————————————————————–

 

Nama Usaha    : Dodol Nyak Mai

Nama Pemilik  : Ny. Juwani

Mulai Berdiri   : 2007 (Warisan Ibu Nyak Mai)

Lokasi Usaha   : Jalan M Kahfi II Gang Kramat Bambu, Setu Babakan

Produk             : Dodol Betawi

Karyawan        : 5 Orang

Mesin Relevan : Mesin Dodol

Pempek Wongkito 19, Lezat Seperti Daerah Asalnya

Ragam kebudayaan yang ada di Bumi Pertiwi, menjadikan negara ini lebih berwarna. Dimana selain prilaku, hukum adat, pakaian, bangunan, corak, hingga makanan menjadi harta karun yang ditinggalkan leluhur untuk keturunannya di masa depan. Khusus untuk makanan, berlabel sebagai ‘tanah surga’, Indonesia memiliki beragam bahan dasar yang dapat dihasilkan bermacam jenis makanan khas daerah berkat kekayaan alam luar biasa yang dimilikinya.

Makanan khas adalah makanan dengan cita rasa teristimewa yang biasa dikonsumsi dan diterima oleh masyarakat sekitar. Makanan khas daerah juga menjadi sesuatu yang unik dan memiliki tempat tersendiri di hati para pecintanya. Kerinduan akan makanan khas daerah, membuat seseorang rela melakukan apa saja demi ingin mengicip kembali makanan tersebut. Bahkan mereka rela pergi berpindah-pindah tempat dan menunggu lama untuk dapat merasakan makanan terbaik khas daerahnya.

Sebut salah satunya yaitu pempek, makanan asli Palembang, Sumatera Selatan ini. Pempek adalah makanan khas Palembang yang terbuat dari ikan dan sagu. Biasanya makan ini ditemani dengan irisan mentimun besrta mie kuning yang disiram kuah berwarna coklat agak kehitaman. Kuah tersebut merupakan cuka atau cuko –sebutan orang palembang- yang terbuat dari air mendidih dengan tambahan gula merah, udang ebi, cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam secukupnya.

Cuko atau kuah pempek ini oleh masyarakat Palembang dibuat pedas dengan maksud menambah nafsu makan. Namun semakin ramainya Kota Palembang dari para pendatang, saat ini banyak juga cuko yang ditemui dengan rasa manis untuk pilahan bagi mereka yang tak suka pedas. Cuko dapat melindungi gigi dari karies (kerusakan lapisan email dan dentin). Karena dalam satu liter larutan kuah pempek biasanya terdapat 9-13 ppm fluor. satu pelengkap dalam menyantap makanan berasa khas ini adalah irisan dadu timun segar dan mie kuning.

Begitu populernya nama pempek di lapisan masyarakat yang bahkan hingga keluar kota asalnya, menjadikan peluang usaha makanan asli Palembang ini begitu terbentang. Hal itu itu juga yang dimanfaatkan oleh Kemas Firmansyah (Kemas) yang kini sukses dari usaha Pempek Wongkito 19 miliknya. Kemas yang juga merupakan putera asli Palembang, Sumatera Selatan yang telah hijrah ke Jakarta ini berhasil memanfaatkan potensi akan makanan khas daerahnya.

Bersiri sejak 2010 silam, Pempek Wongkito 19 sukses menggandeng lebih dari 100 kemitraan dua tahun setelahnya, atau tepatntya pada 2012. Kemas seorang entrepreneur yang peduli akan makanan khas daerahnya ini berharap jumlah tersebut akan terus meningkat. Sejalan dengan visi misi yang diterapkan dari usaha yang berpusat di Harapan Indah Bekasi Barat ini yaitu, Memperkenalkan Pempek Palembang sebagai Makanan Dunia dan Membuka 1.000 Outlet di Dunia”. Kemas begitu optimis akan mimpi-mimpinya. Hal itu mungkin saja terjadi, mengingat semangat juang pengusaha muda tersebut.

Sedikit bercerita, Kemas menjelaskan asal usul dari nama Pempek Wongkito 19, diambil dari kata “Wong Kito” yang merupakan pengakuan seseorang bahwa dirinya komunitas orang Palembang. Sedangkan angka “19” yang ditaruh pada brand-nya tersebut bukan untuk penghias atau melambangkan nomer urut semata. Menurut Kemas, angka “19” memiliki arti yang merupakan kelurahan 19 Ilir, Kota Palembang yang sangat populer sebagai daerah pembuat pempek dengan rasa lezat dan nikmat.

Tersebar di lokasi-lokasi strategis, membuat Pempek Wongkito 19 semakin ramai diburu oleh pecinta kuliner dari berbagai belahan Bumi Nusantara. Selain Jakarta, outlet Pempek Wongkito 19 juga tersebar di Bekasi, Tanggerang, Depok, Bogor, Bandung, Kaltim, Kalsel, Cirebon, Serang Banten, Jawa Tengah, dan beberapa kota di Jawa Timur seperti Gersik dan Bojonegoro. Tak hanya datang langsung, kedai yang menjual makanan asli Palembang ini juga sering menerima pesanan dari negera tetangga semisal Malaysia, Brunei, Singapore, hingga Australia. Bahkan tak jarang negara yang berada jauh semisal Canada, America, Abu Dhabi, dll, turut memesan makanan dari daerah Kemas ini.

Banyaknya mitra yang bergabung, membuat usaha yang dijalankan kemas semakin berkembang. Kemas yakin, bisnis mitra usahanya tetap akan tumbuh, lantaran bisnis ini masih menjanjikan. Sebagai Franchisor, Kemas menceritakan, penghasilan yang didapat mitra berbeda satu dengan yang lainnya. Bahkan dirinya mengklaim, hasil perolehan mitra usahanya selama ini terbilang mentereng yang mampu peroleh total omzet hingga Rp 60 juta perbulan. “Tapi, ada juga yang omzetnya berada di sekitaran Rp 15 juta dan bahkan cuma Rp 6 juta,” beber Kemas.

Kemas mengatakan, perolehan omzet yang diperoleh sangat bergantung kepada wilayah dan kemampuan mitra menggaet pelanggan. Menurutnya, perlu adanya sebuah gerakan untuk meningkatkan kinerja dari usaha ini. Sesuatu berupa edukasi berulang kali diberikan Kemas kepada calon mitra usahanya. Edukasinya pun berupa imbauan agar calon mitra usahanya terus menjaga mutu dan kualitas produk. Ia menilai, edukasi itu penting di tengah persaingan bisnis pempek yang semakin ketat. Jangan sampai kualitas produk menurun, sehingga ditinggalkan pelanggan. “Edukasi itu seputar kualitas produk, pelayanan ke konsumen, dan juga bagaimana mengelola usaha. Kami terus pantau mitra dan memberikan edukasi yang memadai,” katanya.

Produk olahan ikan dengan campuran sagu berlebelkan Pempek Wongkito 19 ini dijual di pasaran dengan harga yang bervariasi (tergantung jenis produk). Pecinta makanan khas Kota Palembang ini dapat mencicipi produk dari Pempek Wongkito 19 mulai dari harga Rp 9.000 untuk ukuran kecil hingga Rp 12.000 per potong untuk ukuran besar. Tentunya harga ini telah mengalami beberapa kenaikan akibat ketidakstabilan harga BBM yang menyebabkan naik turunnya bahan baku Pempem Wongkito 19.

Terkait biaya paket investasi yang ditawarkan, diperlukan Rp 19 juta untuk bergabung menjadi mitra Pempek Wongkito 19. Rinciannya, dari paket investasi tersebut mitra akan mendapatkan hak atas merek jual beserta semua peralatan dan perlengkapan masak. Harga tersebut di luar dari biaya untuk menebus produk berupa pempek siap goreng sebagai deposit dari Pempek Wongkito 19. Untuk menebusnya, Kemas menarik biaya tambahan sebesat Rp1,5 juta, sehingga total biaya paket investasi awal secara keseluruhan sebesar Rp 20,5 juta.

“Dengan menjadi Mitra Bisnis Pempek Wongkito 19, investasi akan segera balik modal. Mungkin saja hanya dalam hitungan bulan.  Bahkan dalam hitungan 4 hingga 7 bulan, modal sudah kembali, dan bulan berikutnya tinggal menikmati ”passive income” yang akan terus mengalir selama menjadi Mitra Bisnis Pempek Wongkito 19,” pungkasnya.

——————————————————————

Nama Usaha    : Pempek Wongkito 19

Nama Pemilik  : Kemas Firmansyah

Mulai Berdiri   : 2010

Lokasi Usaha   : Harapan Indah Bekasi Barat

Produk             : Pempek Palembang

Mesin Relevan : Deep Fryer

Bolu Meranti, Oleh-Oleh Khas Kebanggaan Masyarakat Medan

Bolu Meranti, kini menjadi bagian yang tak terpisahkan saat angkat kaki dari Kota Medan. Kue bolu gulung ini selalu menjadi panganan favorit yang cocok dijadikan buah tangan untuk keluarga di rumah. Kelezatan Bolu Meranti memang sudah lama menjadi buah bibir. Bahkan tak hanya tersohor hingga pelosok Nusantara, beberapa negara pun ikut memperbincangkan kelezatan bolu gulung asal kita kelahiran Penyair Indonesia Chairil Anwar ini.

Tak heran jika para pembeli rela mengantri demi mendapatkan Bolu Meranti. Karena memang, butuh sedikit pengorbanan untuk dapat mengicip kelezatan dari bolu gulung khas Medan yang menjadi oleh-oleh wajib untuk dibawa pulang. Namun semua pengorbanan akan terbayar lunas setelah merasakan bolu gulung yang super lezat ini.

Lalu, tahukan Anda sosok di balik kesuksesan Bolu Meranti yang menjadi salah satu oleh-oleh favorit dari Kota Medan? Ialah Ny. Ai Ling, seorang ibu rumah tangga yang juga pelopor atas kebesaran nama Bolu Meranti hingga seperti sekarang ini. Pada tahun 2005 silam, bermodal hobi memasak dan membuat kue yang dilakukannya sejak muda, hal itu yang mengawali sejarah ibu empat anak ini mulai merintis usaha kue miliknya.

“Awalnya, sewaktu kami masih kecil-kecil, mama suka buat kue untuk ‘bontot’ kami ke sekolah agar tidak jajan yang macam-macam. Lama-kelamaan, teman-teman satu sekolah banyak yang pesan dan tertarik untuk mencicipi kue buatan. Lama-kelamaan pesanan semakin banyak,” papar Ricca salah seorang anak pendiri Bolu Meranti.

Ricca pun memaparkan alasannya menggunakan nama Miranti untuk kue gulung yang sudah terkenal di Kota Medan tersebut. Nama tersebut dipilih dari kesepakatan yang dibuatnya bersama saudaranya. “Meranti diambil dari alamat rumah tante tempat mama dulu sering menitipkan bolunya. Karena sudah dikenal banyak orang bahwa Bolu Meranti itu enak dan lezat, kita pun sepakat mempertahankan branding Meranti dan mendaftarkannya secara resmi,” jelasnya.

Bolu Meranti menyediakan berbagai pilihan bolu gulung. Diantaranya bolu gulung standar, bolu gulung spesial, bolu gulung topping, hingga bolu gulung 3 in 1 yang tersedia dalam berbagai varian rasa seperti cokelat meses, keju, mocha, selai strawberry, nanas, bluebbery, dan masih banyak rasa lainnya. Harga yang ditawarkan pun bervariatif, mulai dari Rp 45.000 hingga Rp 65.000. Setelah mengalami pengembangan, kini Bolu Meranti juga menyediakan aneka kue lain yang tak kalah lezatnya seperti kue bolu, nastar, lapis legit, dan lapis keju.

Sempat berhembus kabar yang tak enak yang meragukan kehalalan dari produk-produk Bolu Meranti, sang empunya lalu menepis dengan menampangkan logo halal berukuran cukup besar yang dipasangkan di dinding gerai miliknya. Semakin berkembangnya Bolu Miranti, Ricca menceritakan banyak pembeli yang menanyakan kehalalan produk dari usaha yang dikelolanya saat ini.

Ricca pun menegaskan bahwa logo halal tersebut bukanlah sekedar ‘asal tempel’ seperti yang diperkirakan banyak orang sebelumnya. Oleh sebab itu, akhirnya Ricca mendaftarkan Bolu Meranti ke LPPOM MUI Provinsi Sumatera Utara. Dampaknya cukup signifikan, Ricca mengaku sejak memperoleh sertifikasi halal dari LPPOM MUI omzet penjualan Bolu Meranti semakin meningkat tajam.

———————————————————————————-

Nama Usaha    : Bolu Meranti

Nama Pemilik  : Ricca (Anak Ai Ling founder Bolu Meranti)

Mulai Berdiri   : Tahun 2005

Lokasi Usaha   : Jalan Kruing No. 2K, Medan, Sumatra Utara

Produk             : Bolu gulung

Mesin Relevan : Planetary Mixer, Spiral Mixer, Oven

Bandeng Juwana, Pusat Oleh-oleh Jadi Ikon Kota Semarang

Semarang, salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia ini terkenal dengan julukan The Port of Java (Pelabuhannya Jawa). Julukan tersebut dipilih sebagai upaya pencitraan kota sebagai pusat pelabuhannya pulau jawa oleh walikota dalam memajukan sektor pariwisata Kota Semarang. Alasannya jelas, kota yang juga terkenal akan banyaknya aliran sungai ini,  menyimpan kekayaan tempat wisata yang tak terhitung jumlahnya. Mulai dari Kawasan Lawang Sewu yang menyimpan banyak sejarah dan terkenal akan keseramannya, wisata keluarga, wisata alam, wisata religius, hingga pada wisata belanja.

Bicara soal belanja, ketika dalam kunjungan ke suatu wilayah baru, membeli oleh-oleh menjadi wajib hukumnya. Pasalnya, oleh-oleh atau buah tangan biasanya sesuatu yang unik dari suatu wilayah dan memiliki daya tariknya tersendiri. Biasanya buah tangan tersebut dapat dengan mudah dijumpai di pasar oleh-oleh yang berada di sekitaran kawasan wisata. Wajar jika oleh-oleh menjadi banyak incaran para pecinta dunia pariwisata. Tentunya hal tersebut membuat pasar oleh-oleh semakin tumbuh dan selaras dengan peningkatan perekonomian warga sekitar. Itu mengapa, kebanyakan dari pemimpin kota begitu berusaha dengan keras memajukan sektor pariwisata di wilayahnya.

Kebijakan walikota untuk memajukan pariwisata Kota Semarang, berhasil menciptakan banyak pengusaha yang khususnya fokus di sektor oleh-oleh ini. Sebut saja ‘Bandeng Juwana’ yang telah sukses menjadi pusatnya berbagai oleh-oleh di Kota Semarang. Tentu keberhasilan itu tak lepas dari keuletan sang pemilik, Dr. Daniel Nugroho Setiabudi, yang berusaha dengan kerasnya mengembangkan Bandeng Juwana hingga menjadi pusat oleh-oleh di Kota Semarang. Bahkan dapat dikatakan, Bandeng Juwana sudah menjadi ikonnya Kota Semarang, karena pengunjung belum sah jika tak mampir pusat oleh-oleh tersebut.

Memiliki misi, memacu kreatifitas demi terciptanya produk baru yang berkualitas, Bandeng Juwana berdiri pada 3 Januari 1981. Sedikit bercerita, ide membuat bandeng tulang lunak terlahir ketika Daniel melihat sebuah toko sejenis yang selalu ramai pengunjungnya. Kurang lebih satu tahun waktu yang dibutuhkan Daniel untuk melakukan pengamatan pada toko tersebut. Awal perjalanannya, daniel beserta Bandeng Juwana kala itu menjual bandeng tulang lunak masih secara sederhana. Hingga kerja keras pemilik Bandeng Juwana menjadikan pusat oleh-oleh yang berada di Kota Semarang tersebut semakin besar hingga sekarang ini.

Pengunjungnya tak pernah sepi, apalagi ketika musim liburan datang. Akan banyak pengunjung yang rela mampir dan memadati pertokoan, seperti halnya lautan manusia. Antrean tersebut demi dapat membawa oleh-oleh ikan bandeng tulang lunak yang khas dari Semarang ke kota asal.

Meski terselip kata bandeng dalam penggunaan namanya, tak lantas pusat oleh-oleh tersebut hanya menyajikan ikan khas Semarang yang diolah hingga tulangnya lunak saja. Bandeng Juwana juga menyediakan aneka macam oleh-oleh khas dari berbagai wilayah di Jawa Tengah seperti enting-enting gepuk, moaci, wingko, lumpia, keripik, aneka dodol, dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun demikian, tetap saja ikan yang dipenuhi duri pada seluruh bagian dagingnya ini menjadi primadona di hati para pecintanya ini.

Selain buah tangan  yang dapat dibawa pulang oleh setiap pengunjung yang datang, mereka juga bisa menikmati berbagai hidangan olahan daging ikan bandeng. Tepat di lantai dua di tempat yang sama, terletak restoran Bandeng Juwana yang menyediakan aneka olahan makanan berbahan dasar bandeng. Mulai dari buntil bandeng, Rendang bandeng, hingga menu klasik yaitu bandeng goreng dengan telur.

Berbagai bandeng tulang lunak (presto) tersedia di pusat oleh-oleh yang berada di Jalan Pandanaran, Semarang, Jawa Tengah ini. Pembedanyanya pun dari ketahanan usia konsumsi makanan tersebut ketika pengunjung hendak membawanya pulang sebagai buah tangan. Mulai Bandeng Pepes Duri Lunak yang tahan hanya 24 jam saja, Bandeng Asap Duri Lunak yang tahan selama dua hari, hingga Bandeng Vacuum yang mampu bertahan tiga bulan untuk dikonsumsi. Harganya pun variatif yang disesuaikan dengan ketahanan olahan bandeng, mulai dari Rp 90.000,-/ kg. Dengan catatan pengunjung bebas memilih isi ikan bandeng per kilogramnya. Mulai dari per kilogram isi 2 hingga 6 ekor bandeng tulang lunak.

 

Nama Usaha    : Bandeng Juwana

Nama Pemilik  : Dr. Daniel Nugroho Setiabudi

Mulai Berdiri   : 3 Januari 1981

Lokasi Usaha   : Jalan Pandanaran, Semarang, Jawa Tengah.

Produk             : Oleh-oleh khas Jawa Tengah

Mesin Relevan : Presto

 

pengusaha_keripik_pisang_hasanmuhamad

Berinovasi Pada Kemasan Keripik Pisang, Mentereng di Rumah Pusat Oleh-Oleh

Terkesan sepele memang, tapi jangan anggap remeh usaha ini. Diluar dugaan, menjalankan suatu usaha, termasuk usaha keripik juga dapat menghasilkan omzet yang cukup besar jika dilakukan dengan benar. Bahkan dapat lebih besar lagi jika sudah dilakukan dengan pernjualan berskala nasional. Jika kita lihat banyak usaha keripik sukses yang memulai usahanya dari bawah. Sebut saja kripik pisang cokelat asal Lampung, hingga keripik singkong pedas Christine Hakim yang terkenal di Padang.

Tentulah siapa pun ingin menjadi seorang pengusaha sukses. Hal ini dibuktikan dengan maraknya mendirikan suatu usaha yang bahkan menjadi trendsetter belakangan ini. Seseorang akan banyak mendapatkan keuntungan ketika telah menjadi seorang pengusaha sukses. Tentunya fleksibelitas waktu yang tidak didapat ketika hanya menjadi seorang pegawai. Hingga ketidakterbatasan uang yang dimiliki seorang pengusaha sukses yang sering disebut dengan istilah ‘uang yang tak berseri’.

Hal itulah yang mungkin menjadi alasan Cefi Heriansyah (Cefi) memutuskan menjadi seorang pengusaha. Cefi Heriansyah, seorang pengusaha keripik pisang yang juga masih lajang ini merupakan lulusan dari salah satu Universitas Jurusan Sastra Inggris. Pengusaha sekaligus seorang pengajar di SDIT Auliya Bintaro ini memiliki segudang ide bisnis yang didapatnya secara tidak sengaja dari penjual keripik pisang tak jauh dari rumahnya.

Cefi yang beralamat tinggal di Pondok Cabe Ilir ini, awalnya iseng-iseng berinovasi dari produk keripik pisang yang hanya diolah biasa – dalam arti tanpa bumbu tambahan – dari penjual dekat rumah tanpa menggunakan kemasan. Dari situ, Cefi menambahkan bumbu perasa yang dilumuri ke setiap bagian kripik pisang olahannya. Selain itu, dirinya juga mementingkan kemasan sebagai pelindung produknya. Diluar membuat produk terjaga kualitasnya, menurutnya kemasan juga dapat menjadi nilai tambah terhadap tampilan produk.  Berkat ide kreatifnya itulah yang mendorong Cefi menjadi seorang pengusaha keripik pisang yang beda dengan lainnya.

Mengusung nama “Chef Banana” sebagai merek yang akan digunakan untuk keripik pisang buatannya, membuktikan kalau Cefi memang benar-benar serius mengelola usahanya. Langkah awal memulai usahanya, Cefi mengaku hanya bermodalkan uang Rp 800 ribu. Tentu angka yang tidak besar untuk memulai suatu usaha. Dari modal yang tak seberapa itu, Cefi yang sejak awal memang sudah fokus mengemas produk olahan kripik pisang buatannya yang terdiri dari 10 rasa itu dengan packing berupa pouch.

Tak tangung-tanggung di tangan temannya yang memang seorang desainer kemasan. Ia berhasil mewujudkan komunikasi yang berisikan pesan produknya ke dalam desain kemasan Chef Banana. Kini produk Chef Banana lebih cantik dibandingkan pada awal mula usahanya. Cefi hanya mengemas produk kiripik pisangnya dengan menggunakan kemasan plastik tipis biasa dengan desain kemasan yang ala kadarnya.

Terlihat Mentereng

Tak hanya memikirkan soal produksi dan kemasan saja, Cefi juga sudah melengkapi produk kemasannya dengan mendaftarkan produk keripik pisang Chef Banana miliknya ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena memang, hal itu dirasa sangat penting untuk keperluan sebuah usaha, khususnya bidang kuliner yang kini dijalankannya. Hingga pada akhirnya berhasil mendapatkan sertifikasi Halal dari MUI pada November 2013 lalu.

Ketika produk telah masuk pada pusat perbelanjaan/ rumah oleh-oleh di kota-kota besar, persaingan akan sangat terasa di dalamnya. Karena berbagai macam merek dari kecil hingga yang telah dikenal banyak orang melebur jadi satu. Produk keripik pisang buatan Cefi dikemas semenarik mungkin bertujuan agar produk dapat terlihat mentereng jika disandarkan dengan produk bermerek sekalipun. Cefi juga beralasan, adanya inovasi menciptakan sebuah kemasan yang baik, akan menambah nilai jual produk tersebut bila dibanding dengan kemasan keripik pisang  seperti yang biasa dijumpai di pasaran. Dimana kemasan terlihat ala kadarnya dan tentu tidak memenuhi standard dalam kemasan untuk makanan.

“Buat saya, brand pada kemasan itu merupakan identitas dari produk usaha saya saat ini. Dengan adanya brand yang diperkuat dalam desain kemasan yang baik, selain akan menambah nilai jual, saya yakin akan membantu terciptanya image pada produk kripik pisang usaha saya di mata konsumen,” ujar Cefi yang termasuk tipe pengusaha yang intuitung introvert (gila bermimpi).

Ketika ditanyakan mengenai prospek ke depan, Cefi berharap usahanya ini akan jauh lebih maju dari apa yang seperti sekarang ini. Nama Chef Banana ke depan diharap akan begitu melekat dan menjadi satu-satunya brand keripik pisang di ingatan orang. “Saya ingin suatu saat kelak, orang kalau ingin membeli keripik pisang, yang ada dalam ingatan mereka (konsumen) adalah brand Chef Banana,” tutupnya.

Sedikit bercerita, untuk mengemas produk keripik pisangnya itu, Cefi Pertama kali menggunakan Mesin Pengemas Hand Sealer di bulan Juli 2013. Namun karena semakin banyaknya permintaan yang dibarengi oleh peningkatan jumlah produksi keripik pisang, maka kini ia menggunakan Mesin Pedal Sealer di awal Januari 2014.

 

Nama Usaha              : Chef Banana

Nama Pemilik            : Cefi Heriansyah

Mulai Berdiri             : Tahun 2013

Lokasi Usaha             : Pondok Cabe, Tanggerang

Produk                       : Keripik Pisang dalam Kemasan

Mesin Relevan           : Hand Sealer, Pedal Sealer, Spinner, Vacum Frying